6:00 AM
Guk Guk Guk... Guk Guk Guk...
6:00 AMBeberapa waktu yang lalu, gua secara nggak sengaja menemukan satu trend topic aneh di Twitter, yang kalau nggak salah, terdapat sekit...
Beberapa waktu yang lalu, gua
secara nggak sengaja menemukan satu trend
topic aneh di Twitter, yang kalau nggak salah, terdapat sekitar 14 ribuan
orang lebih turut ikut meramaikan topik ini. Trend topic tersebut adalah “Taik Anjing”.
Trend topic ini dengan seketika membuat pikiran gua mulai membayangkan
hal yang absurb. Makannya, setelah itu gua langsung mencoba untuk berpikiran
positif bahwasannya, isi bahasan dari trend
topic “Taik Anjing” ini mungkin adalah soal informasi penemuan pupuk
tanaman baru yang berasal dari “Taik Anjing”. Atau jangan-jangan, ada satu
program baru dari pemerintah untuk menggunakan inovasi “Taik Anjing” sebagai
bahan penghemat BBM.
Tapi mau dikata apa, yang terjadi
justru di luar pikiran positif gua. Ternyata isi bahasan pada topik “Taik
Anjing” ini muncul hanya karena segelintir orang meluapkan dan menyampaikan
emosi kepada mantan kekasihnya lewat sebuah thread
di Twitter. “Taik Anjing” di sini cuma difungsikan sebagai penarik
perhatian dan rasa simpati para pengguna Twitter lainnya agar mereka bisa
membaca atau turut ikut meramaikan thread
tersebut dengan berbagai respon.
Perlu ditekankan, trend topic seperti ini nggak akan muncul
dengan sendiri tanpa ada seseorang yang mengawali untuk menyampaikannya ke
publik. Makannya, gua nggak habis pikir ketika sadar kalau dari sekian banyak
persoalan pelik yang sedang dialami Indonesia, kok bisa ada 14 ribuan orang yang
lebih mood memilih membahas “Taik
Anjing” ketimbang yang lain...
Sebetulnya, semenjak muncul kultur
“bebas menyampaikan sesuatu” di sosial media, nggak cuma soal bahasan seperti
“Taik Anjing” ini saja yang kerap menghebohkan jagat trend topic di Twitter. Bahasan-bahasan dengan pola serupa, dari
yang jorok, receh, atau sampai hal yang nggak bermakna sama sekali lainnya, pun
sering menghiasi ranah sosial media Twitter.
Tapi anehnya, rata-rata dari kebanyakan
netizen di Indonesia justru senang dengan bahasan yang seperti ini.
Ada apa ini?
Alih-alih dapat membuat sosial
media terlihat sebagai ranah kemajuan yang fantastis seperti yang diharapkan banyak
orang, dalam konteks ini, netizen di Indonesia kok malah lebih memilih membuat
sosial media tampak memble dan seperti nggak ada nilainya.
Bahkan nggak cuma sampai di situ.
Sebagian yang menikmati kultur kebebasan ini selalu berdalih bahwasannya bentuk
bahasan remeh temeh, jorok, aneh, dan sebagainya itu hanya dikonsumsi atas
dasar hiburan semata. Mereka terus berkoar dengan pembelaan-pembelaannya
seperti “nggak usah dianggap serius” atau “toh banyak juga yang suka”. Maka
wajar saja kalau bahasan semacam ini perlahan-lahan semakin berubah menjadi
siklus yang terus berulang.
Padahal, kalau mau dibahas secara
mendalam, persoalan kebebasan ini bukan hanya berhenti sampai masalah “selera”
hiburan saja. Karena kalau sekedar persoalan “selera” hiburan, itu mungkin nggak
jadi masalah yang berarti. Tapi, persoalan kultur ini pada faktanya memberikan
“efek samping” yang begitu signifikan bagi cara berpikir netizen di Indonesia.
Terutama kepada kalangan anak mudanya.
“Loh kok bisa?”
Karena yang namanya sesuatu yang
dikonsumsi itu akan memberikan efek kepada siapa yang mengkonsumsinya. Termasuk
sesuatu yang dianggap sebagai hiburan. Apalagi jika ditambah dengan intensitas
konsumsinya yang sangat sering, maka efek sampingnya akan jauh lebih besar lagi.
Kalau gua contohkan misalnya, seseorang
yang terbiasa dan sering mengikuti serangkaian cerita atau konten horor di
sosial media, pasti secara nggak langsung akan mempunyai konsep pemikiran
perihal hal-hal ghaib berdasarkan
dari apa yang si pembuat cerita atau konten horor tersebut berikan. Dampaknya,
cara dia bersikap tentang hal ghaib
pasti nggak akan jauh-jauh dari maklumat (informasi) yang dia terima dari si
pembuat cerita atau konten horor.
Atau contoh lain misalnya,
seseorang yang sering mengkonsumsi vlog dari
youtuber terkenal yang mengaku dirinya sebagai influencer hanya karena menampilkan konten-konten asal bicara di
depan publik, pasti setidaknya akan punya sebuah pandangan bahwa bertindak
serupa merupakan sesuatu yang asyik untuk dilakukan. Atau miminal seseorang
tersebut akan mempunyai cara komunikasi yang mirip dengan si vlogger.
Ini semua bukanlah teori
cocoklogi dari sebab dan akibat. Karena memang pada umumnya manusia pasti
terpengaruh oleh apa yang jadi kebiasaannya. Terlebih lagi kalau sudah mencakup
pengaruh pemikiran, maka dampak yang dirasakan manusia akan sangat signifikan.
Kalau menurut Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani di dalam kitabnya Nizhamul Islam, pemikiran itu akan membentuk
dan memperkuat persepsi manusia terhadap sesuatu.
Maka sama halnya dengan trend topic Twitter “Taik Anjing” tadi. Itu
berarti selama ini ada banyak orang yang punya persepsi bahwa mengkonsumsi hal aneh
dan nggak bermanfaat seperti itu adalah sebuah hiburan. Efek sampingnya, mereka
jadi lebih cenderung suka dengan keanehan yang kerap muncul di sosial media.
Entah itu dalam bentuk yang receh, kebodohan, galau remeh temeh, guyon, atau
hal nggak ada manfaat lainnya, pada intinya semua jenis konten seperti itu
merupakan sesuatu yang bisa dibilang sebagai topik favorit karena telah jadi
kebiasaan.
Jadi, bisa disimpulkan dong kenapa
banyak sekali muncul keanehan-keanehan dari segelintir orang Indonesia yang malah
menjadi viral di sosial media?
Ya itu karena memang kebanyakan dari
pengguna sosial media di Indonesia terbiasa untuk memfasilitasi diri mereka
dengan keanehan dan ketidakbermanfaatan. Bukankah menjadi hal yang wajar kalau
rata-rata konten viral yang muncul memang sangat sejalan dengan kecenderungan
dan kebiasaan dari para penggunanya?
Kan logikanya begini, jika para
pengguna sosial media nggak cenderung atau nggak biasa suka dengan bentuk
konten aneh dan nggak bermanfaat, maka secara otomatis konten dengan jenis
tersebut nggak akan pernah jadi viral. Begitupun juga sebaliknya.
Lalu, kenapa justru ada sebagian orang
Indonesia –yang sebenarnya sering mengkonsumsi hal aneh dan nggak bermanfaat–
turut ikut protes atau mengomentari ketika keanehan dan ketidakbermanfaatan itu
viral dengan dalih “mengkritisi”?
Padahal kan faktanya, yang “mengkritisi”
sendiri secara tidak langsung telah memberikan pengaruh besar pada konten viral
itu karena mereka berada di dalam satu spectrum
yang sama, yaitu sama-sama penikmat keanehan dan ketidakbermanfaatan.
Tapi mau bagaimana, semakin aneh
dan nggak manfaat, konten viral akan semakin menarik banyak perhatian. Jadi
jangan kaget kalau sebagian diantara para penikmat keanehan dan
ketidakbermanfaatan malah membuat konten tandingan untuk sekedar “mengkritisi”
konten-konten yang viral tersebut.
Lebih anehnya lagi, biasanya
kalau sudah sampai tahap banyak orang yang membuat konten “mengkritisi”, pasti akan
spontan muncul beberapa wadah temporer untuk forum diskusi (biasanya paling
sering muncul di kolom komentar). Wadah temporer ini akan sangat sejalan dengan
intensitas ke-viral-an si kontennya. Semakin viral, maka semakin banyak pula yang
akan turut “mengkritisi” dengan serangkaian respon berupa argumen yang dapat membuat
orang “ngangguk-ngangguk”.
Atau biasanya, sebagian yang lain
akan memberikan serangkaian respon berupa candaan dan guyonan, yang seolah membuat
mereka terlihat berbeda dari yang lain (anti-mainstream). Malah respon seperti
ini biasanya lebih sering mendapatkan kredit baik karena dianggap menghibur.
Entah disadari atau nggak, tapi
yang jelas, bagi gua sendiri siklus seperti ini sudah menjamur dan selalu
menghasilkan pola yang sama. Intinya siklus seperti ini mudah sekali ditemukan
karena pola proses terjadinya akan selalu mirip. Hanya saja masalahnya, siklus
ini punya dampak yang fatal bagi cara berpikir.
“Hah? Dampak yang fatal?”
Seperti yang semua orang tahu,
yang namanya konten aneh atau nggak bermanfaat pasti punya bobot ringan yang sangat
mudah dimengerti atau diikuti oleh semua orang (termasuk para penikmatnya). Maka
dari itu, biasanya para penyuka hal seperti ini lebih sulit menerima sesuatu
(konten misalnya) yang bobotnya lebih berat dari biasanya. Secara intensitas,
sangat jarang sekali dari mereka bisa mengkonsumsi sesuatu yang berbobot dalam setiap
aktivitas sosial medianya.
Tapi meskipun begitu, dengan pola
yang sama seperti yang gua sempat singgung sebelumnya, konten yang jenisnya berbobot
pun bisa turut dikonsumsi oleh para penyuka keanehan dan ketidakbermanfaatan.
Yang terpenting jenis konten berbobot tersebut punya satu kunci, yaitu sedang viral
atau sedang hype. Kunci inilah yang
memainkan peran penting bagi ketertarikan mereka untuk mengkonsumsi
konten-konten di sosial media, termasuk konten yang ada bobotnya.
Maka hasilnya, pola yang mereka
lakukan akan senantiasa memunculkan situasi yang amburadul, dan bisa dibilang “hanya
membuat gaduh sosial media” saja.
Kalau gua analogikan, ibaratnya
seperti seseorang yang tidak terbiasa mengangkat beban berat, tapi memaksa
dirinya untuk mencoba mengangkat beban berat tersebut. Efeknya adalah, dia
pasti kesulitan, dan mungkin setiap otot di tubuhnya akan merasakan sakit
karena terlalu memaksakan diri ketika mengangkat beban berat tersebut.
Jadi ketika para penikmat hal
aneh dan nggak bermanfaat di sosial media mencoba mengikuti sesuatu konten yang
punya bobot lebih berat dari biasanya, mereka akan lebih cenderung kesulitan dalam
memahami konten tersebut. Akibatnya, respon yang akan mereka berikan sebagai
bentuk kritik atau komentar hanya bermodalkan dari intrepertasi sendiri.
Padahal, sesuatu konten berbobot selalu
harus disikapi dengan konsep cara berpikir komprehensif, yang mencakup
pemahaman ilmu, objektifitas, dan juga keterbukaan pikiran. Tapi mau bagaimana
lagi, kebanyakan para penyuka keanehan dan ketidakbermanfaatan justru nggak
punya konsep-konsep seperti ini. Seringnya, mereka hanya menggaungkan sebuah
istilah-istilah –yang itupun hadir karena dianggap hype oleh banyak orang di sosial media (seperti open minded, dark joke, radikal, dsb)–, padahal di sisi lain mereka sendiri
nggak paham apa sebenarnya substansi dari istilah-istilah tersebut.
Banyak sekali
contoh konten-konten berbobot yang sering menjadi polemik pembahasan di sosial
media. Misalnya seperti pembahasan poligami, politik, atau toleransi. Cuma sayangnya, ketika para penikmat kenaehan dan ketidakbermanfaatan
turut ikut membahas, kebanyakan dari konten-konten tersebut menjadi kehilangan
esensi yang seharusnya. Sekali lagi, yang kerap muncul hanyalah situasi
amburadul dan kegaduhan akibat banyaknya debat kusir atau guyonan-guyonan yang
tidak berarti.
Kesalahan dalam
cara berpikir ini mirip seperti gambaran yang pernah dituturkan Ibn Khaldun,
bahwa kondisi ini merupakan efek dari ketidaksanggupan seseorang dalam memahami
maksud yang sebenarnya –yang dalam konteks ini adalah konten berbobot– akibat
menyikapi segala sesuatu hanya lewat pemikiran dan pendengarannya saja.
Maka dampak yang terjadi selanjutnya
adalah, siklus ini akan membawa setiap penyuka jenis konten aneh dan nggak
bermanfaat untuk suka berkomentar seenaknya. Padahal sumber informasi luar mereka
kebanyakan hanya diambil dari stigma-stigma publik, dan nggak sedikit dari
mereka yang asal menelan sebuah argumen tanpa diverifikasi terlebih dahulu. Ya
kurang lebih modalnya hanya “ngangguk-ngangguk”
saja.
Akhirnya, dengan ditambah faktor “bebas
menyampaikan sesuatu”, maka para penikmat keanehan dan ketidakbermanfaatan bisa
dengan seenak hati menuturkan apapun di sosial media tanpa mengukur apakah yang
dituturkannya bisa menjadi manfaat atau nggak. Yang terpenting bagi mereka adalah hasrat keseruan. Apa yang
dituturkannya ini biasanya dibalut dengan keanehan, kegalauan, guyonan, kebodohan, recehan, atau sesuatu
yang jauh dari kata “berfaedah” lainnya.
Nah, inilah yang menjadi alasan
kenapa satu trend topic di Twitter
seperti “Taik Anjing” yang gua angkat di awal tadi bisa sampai diikuti oleh
sekitar 14 ribuan orang.
***
Kesimpulan yang gua dapat terkait
dengan semua pembahasan dalam tulisan ini adalah, bahwa kegaduhan mainstream
yang sering terjadi di sosial media faktornya nggak akan jauh-jauh dari
persoalan kebiasaan mengkonsumsi keanehan dan ketidakbermanfaatan sebuah konten.
Kecenderungan yang lahir dari kebiasaan inilah yang juga menjadi pemicu
terbesar bagi sebagian orang untuk tergiring mengikuti suatu trend topic atau bahasan tertentu yang
ada di sosial media tanpa mengukur maslahatnya (seberapa penting) terlebih
dahulu.
Padahal, trend topic atau bahasan yang ada di sosial media tidaklah
segamblang yang dikira. Bisa jadi, munculnya sebagian dari trend topic atau bahasan hanyalah sebuah intrik yang memang sengaja
dihadirkan di sosial media untuk mengalihkan fokus mereka kepada sesuatu diluar
masalah yang lebih krusial –entah itu dalam bentuk doktrin atau propaganda. Gua
sendiri sudah pernah membahas poin-poin terkait persoalan ini secara merinci di
dalam tulisan “Doktrin Manipulasi Lewat Framing Kemasan”.
Silahkan dibaca: Doktrin Manipulasi Lewat Kemasan
Maka ujung-ujungnya, mereka yang sudah
terbiasa berada dalam spektrum ini nggak sadar kalau ternyata mereka sudah banyak
bicara (dalam bentuk tulisan) akibat teralu sering menyampaikan segala hal di sosial media.
Dalam pandangan Islam, banyak
bicara adalah sesuatu yang sangat tidak baik. Apalagi isi pembicaraannya selalu
jauh dari kata manfaat, ini merupakan ciri dari penyakit hati. Menurut
penjelasan dari Ibnu Qoyyim, banyak bicara juga disinggung oleh Rasulullah SAW di
dalam salah satu hadisnya dengan sebutan Assarsarun.
Assarsarun itu artinya orang yang
banyak bicara, dan Rasulullah SAW menyebut bahwa orang jenis ini adalah orang
yang paling dibenci oleh beliau.
Karena memang di satu sisi orang
banyak bicara itu juga biasanya nggak punya kerjaan selain berkomentar tanpa
aksi. Dengan begitu wajar kenapa Rasulullah SAW bisa sampai membenci orang
jenis seperti ini.
Oleh sebab itu, sudahilah siklus
buruk semacam ini. Sudah sepatutnya para pengguna sosial media meng-upgrade kualitas konsumsinya supaya
lebih bisa memperoleh dampak yang lebih baik dari sebelumnya. Atau kalau nggak,
ya minimal berhentilah untuk menyenangi sesuatu yang nggak ada manfaatnya sama
sekali.
Terakhir, sebelum menutup tulisan
ini, gua hanya ingin memberikan opsi-opsi bahwasannya hal yang asyik dan seru
itu nggak harus didapati lewat konsumsi konten-konten aneh dan nggak
bermanfaat. Ubahlah cara pandang kita agar keluar dari paradigma semacam itu.
Indonesia saat ini sedang berada dalam ancaman masa krisis, baik itu krisis dari sisi
moralnya hingga ekonominya. Jadi sudah tidak perlu lagi ditambah dengan krisis
cara berpikir akibat dampak dari kebiasaan mengkonsumsi konten-konten aneh dan
nggak bermanfaat.
“Ciri zaman yang
sakit itu bisa terlihat dengan jelas dari lisan dan tulisanya.”
-Ustadz Budi
Ashari-